Surat Al-Fatihah adalah surat yang paling sering kita baca. Dalam satu hari, seorang muslim minimal membacanya sebanyak 17 kali dalam setiap rakaat shalatnya. Untuk lebih menghayati bacaan kita terhadap surat ini di dalam shalat, marilah kita baca bersama tafsir surat ini.
Berikut ini adalah tafsir surat Al-Fatihah ringkas yang kami terjemahkan dari Taisir Karimir Rahman karya As-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah.
Beliau berkata di dalam tafsir beliau,
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (1) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (2) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (3) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (4) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (5) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ (7)
بِسْمِ اللهِ
“Dengan nama Allah”
Allah: Memulai dengan seluruh nama Allah ta’ala. Karena lafazh اسم (nama) adalah mufrad mudhaf (kata tunggal yang disandarkan pada sesuatu -pent.), maka ini dibawa kepada keumuman keseluruhan asmaul husna.
Allah berarti Yang Disembah, Yang Diibadahi. Yang berhak untuk ditunggalkan dalam peribadahan, ini karena Allah disifatkan dengan sifat yang termasuk sifat uluhiyah. Sifat ini adalah sifat kesempurnaan.
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Dua nama yang menunjukkan bahwa Allah ta’ala memiliki rahmat yang luas dan agung, yang meluas kepada segala sesuatu, meliputi seluruh makhluk hidup. Allah juga menentukan rahmat bagi orang-orang yang bertaqwa, yang mengikuti para nabi dan rasul-Nya. Maka, bagi mereka inilah rahmat yang mutlak. Dan barangsiapa yan berpaling, maka dia tetap mendapatkan bagian rahmat tersebut.
Ketahuilah, sesungguhnya termasuk ke dalam kaidah yang telah disepakati oleh salaful ummah serta para imam adalah beriman kepada nama dan sifat Allah, serta hukum-hukum sifat tersebut.
Sebagai contoh, mereka beriman bahwa Allah itu Rahman dan Rahim. Allah memiliki rahmat, yang dengan sifat rahmat itulah Allah disifati. Sifat ini dikaitkan dengan makhluk yang dirahmati. Maka segala macam kenikmatan merupakan atsar (tanda) dari rahmat Allah. Begitupula dalam setiap nama-nama Allah.
Disebutkan pada sifat Al-Aliim: Allah itu Maha Mengetahui dan memiliki ilmu. Dengan ilmu tersebut Allah mengetahui segala sesuatu. Begitu juga dengan Qadiir: Allah itu memiliki pengaturan, mengatur segala sesuatu.
الْحَمْدُ لِلَّهِ
“Segala puji hanya bagi Allah”
Ini merupakan pujian kepada Allah dengan sifat kesempurnaan. Dengan perbuatan-perbuatan-Nya yang mencakup di antara keutamaan dan keadilan. Maka bagi-Nyalah pujian yang sempurna dari segala sisi.
رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Rabb semesta alam”
Ar-Rabb adalah yang mengatur semesta alam ini. Alam adalah yang selain Allah ta’ala. Pengaturan Allah dengan menciptakan alam, menyiapkan kebutuhannya, dan memberikan kepada mereka nikmat yang agung yang apabila mereka cari mereka tidak akan dapat memperolehnya dengan kekekalan. Nikmat yang ada pada mereka adalah nikmat dari Allah.
Tarbiyah Allah terhadap ciptaan-Nya ada dua jenis: umum dan khusus.
Adapun yang umum adalah menciptakan para makhluk, memberi rizki kepada mereka, dan menunjuki mereka apa-apa yang memberikan mashlahat bagi mereka, ini merupakan ketetapan bagi mereka di dunia.
Adapun yang khusus adalah tarbiyah Allah bagi para wali-Nya. Allah mentarbiyah mereka dengan iman, memberikan taufiq kepada mereka dengan iman tersebut, menyempurnakan mereka dan mencegah mereka dari berpaling (dari keimanan tersebut –pent). Dan Allah juga mencegah hambatan-hambatan yang memalingkan mereka dari Allah.
Dan hakikatnya adalah tarbiyah taufiq dalam semua kebaikan dan terjaga dari segala macam keburukan. Makna ini merupakan inti keadaan kebanyakan doa para nabi dengan lafzh Rabb, karena seluruh permintaan mereka masuk di bawah rububiyah yang khusus.
Maka firman Allah “Rabbil ‘Aalamiin” menunjukkan keesaan Allah dalam penciptaan, pengaturan nikmat, kesempurnaan kekayaan Allah, serta benar-benar butuhnya yang selain Allah kepada-Nya dari segala sisi.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang Menguasai Hari Pembalasan”
Al-Maalik adalah yang disifati dengan sifat penguasaan yang ditandai dengan dia memerintah dan melarang, memberikan pahala dan hukuman, mengatur apa yang dia kuasai dengan segala bentuk pengaturan. Dan menggolongkan apa yang dia kuasai pada hari pembalasan.
Hari pembalasan adalah hari kiamat. Hari di mana manusia dibalas atas amalan-amalan mereka, yang baik maupun yang buruk. Karena pada hari tersebut, kesempurnaan kerajaan Allah serta keadilan-Nya akan benar nampak sempurna bagi para makhluk. Begitu juga akan nampak keterputusan kekuasaan para makhluk. Sehingga pada hari itu akan sama kedudukannya para raja dan rakyat jelata, seorang budak dan seorang yang merdeka. Semua mereka tunduk karena keagungan Allah, merendah karena kebesaran Allah, mereka menunggu balasan dari Allah, mengharap pahala-Nya, takut akan hukuman-Nya. Oleh karena itulah Allah mengkhususkan penyebutan hal ini (yaitu bahwa Dia penguasa hari pembalasan –pent). Allah-lah yang menguasai hari pembalasan serta hari-hari selainnya.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”
Artinya, “Kami mengkhususkan Engkau semata dalam peribadahan dan isti’anah (permintaan tolong)”. Karena didahulukannya al-ma’mul (obyek, dalam hal ini adalah kata Engkau (Allah) –pent.) memberikan faedah pembatasan. Yaitu menetapkan hukum bagi yang disebutkan, dan menafikan hukum dari yang selainnya. Ini seolah-olah anda berkata “Kami menyembah kepada-Mu, dan kami tidak menyembah yang selain Engkau. Kami tidak pula meminta pertolongan dari yang selain Engkau”.
Di sini, ibadah didahulukan daripada isti’anah. Maksudnya adalah mendahulukan perkara yang umum baru kemudian yang khusus serta perhatian dengan mendahulukan hak Allah ta’ala daripada hak hamba-Nya.
“Ibadah” adalah sebuah nama yang mengumpulkan perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa amalan maupun ucapan yang zhahir maupun yang batin. “Isti’anah” adalah menyandarkan diri kepada Allah untuk memperoleh manfaat dan menolak mudharat, disertai dengan tsiqah (keyakinan) bahwa Allah-lah yang mewujudkan hal tersebut.
Menegakkan ibadah dan isti’anah kepada Allah merupakan perantara untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi dan selamat dari segala bentuk kejelekan. Tidak ada jalan keberhasilan melainkan dengan menegakkan keduanya. Hanya saja, ibadah itu disebut ibadah jika diambil dari (contohan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dimaksudkan untuk wajah Allah. Dengan dua perkara ini maka dia disebut ibadah.
Penyebutan Isti’anah setelah ibadah -padahal isti’anah itu juga termasuk ke dalam ibadah- adalah karena butuhnya hamba kepada istia’anah kepada Allah dalam setiap peribadahan. Sebab, tanpa pertolongan Allah, dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah tadi
Selanjutnya Allah berfirman,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Maksudnya, “Tunjukkan dan selaraskan kami dengan jalan yang lurus”. Jalan yang lurus adalah jalan yang jelas dan menyampaikan kepada Allah serta surga-Nya. Jalan yang lurus juga maksudnya mengenal kebenaran dan melaksanakannya. Maka tunjukilah kami kami ke jalan tersebut dan berilah kami petunjuk di jalan tersebut.
Petunjuk kepada jalan yang lurus ini adalah tetap di dalam agama Islam dan meninggalkan agama-agama yang lain. Adapun pentunjuk di jalan tersebut mencakup petunjuk untuk mengetahui dan mengamalkan bagian-bagian dari agama.
Doa (”Tunjukkan kami ke jalan yang lurus”, pent.) ini termasuk doa-doa yang mengumpulkan dan paling bermanfaat bagi hamba. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk berdoa kepada Allah dengan doa ini pada setiap rakaat shalatnya karena butuhnya dia terhadap hal tersebut.
Jalan yang lurus ini adalah
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat”
Yaitu dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih.
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
“Bukan jalan orang –orang yang Engkau murkai”
Yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran namun mereka meninggalkannya, seperti Yahudi dan yang seperti mereka.
وَلاَ الضَّالِّينَ
“Dan bukanlah jalan orang-orang yang sesat”
Yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran di atas kebodohan dan kesesatan, seperti Nashara dan yang seperti mereka.
KANDUNGAN SURAT AL-FATIHAH
Surat Al-Fatihah ini -dilihat dari cakupannya-, telah diturunkan dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh surat-surat Al-Qur’an lainnya. Surat Al-Fatihah mengandung tauhid yang tiga:
- Tauhid Rububiyah yang diambil dari firman-Nya:
رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Rabb semesta alam”
- Dan tauhid ilahiyah, yaitu mengesakan Allah dengan peribadahan. Diambil dari lafzh (الله) dan dari firman-Nya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”
- Serta tauhid asma wa shifat yaitu menetapkan sifat yang sempurna bagi Allah, yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dan yang telah Rasulullah tetapkan pula tanpa ta’thil (penolakan), tamtsil (memisalkan), dan tanpa tasybih (penyerupaan). Hal ini telah ditunjukkan oleh lafzh (الحمد) sebagai yang telah berlalu.
Al-Fatihah juga mengandung penetapan nubuwah (kenabian) dalam firman-Nya,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Karena jalan yang lurus tidak bisa diperoleh tanpa adanya risalah (kenabian).
Surat ini juga menetapkan adanya balasan bagi amalan-amalan dalam firman-Nya:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang Menguasai Hari Pembalasan”
Dan balasan tersebut akan disertai dengan keadilan. Karena kata diin itu bermakna balasan dengan keadilan.
Surat ini juga mengandung penetapan taqdir, dan menetapkan bahwa sesungguhnya hamba itu adalah pelaku amalan yang hakiki. Berbeda dengan aliran Qadariyah dan Jahmiyah.
- Surat ini merupakan bantahan terhadap seluruh ahli bid’ah dan kesesatan dalam firman-Nya,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Karena jalan yang lurus adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Dan setiap pelaku bid’ah dan kesesatan menyelisihi perkara ini.
- Surat ini juga mengandung pengikhlasan agama hanya bagi Allah ta’ala dengan beribadah dan memohon pertolongan dalam firman-Nya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”
- فالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ -
*Marja : www.wiramandiri.wordpress.com
0 comments:
Posting Komentar
Syukran sudah komentar