Setelah melalui tahapan dari tidak mau mendengar kalimat-kalimat Allah (karena kalau ikut pengajian yang di dengar malah serba nggak boleh melakukan ini-itu dan makan ini-itu, serta berbagai ancaman siksa neraka), kemudian menjadi terarik untuk menghadiri majelis ilmu, majelis zikir, pengajian, liqo atau sejenisnya, ghirah agama kita biasanya meningkat dan mulai tertarik untuk lebih mengetahui agama Allah ini.
Untuk apa? Untuk mengisi kekosongan iman selama ini sehingga jiwa kita yang dahaga membutuhkan siraman iman. Bagi yang sudah berkeluarga biasanya ghirah ini menular ke seisi rumah. Artinya jika level ini tetap dipelihara seperti membaca al-qur’an, sholat berjemaah, konsisten hadir pada majelis-mjelis ta’lim serta tetap memelihara diri dari lingkungan dan perbuatan yang tidak baik, insya Allah, paling kurang, iman kita serta keluarga kita (komunitas terkecil dalam masyarakat) dapat terjaga.
Cukup kah sampai di sini saja ? Keliatannya banyak yang sudah puas hanya sampai pada tahapan ini saja, padahal jika kita mengkaji lebih dalam ajaran agama kita, ternyata hal ini tidak cukup sampai di sini saja, karena :
Agama ini adalah nasihat, nasihat pada manusia agar selalu berusaha menjadi lebih baik (sekarang di aplikasikan dalam ISO 14001 dengan spirit of continous improvementnya). Saking pentingnya hal ini, bahkan meskipun usaha itu gagal, Allah tetap mengganjarnya dengan pahala
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (QS. 17:19)
Agama kita sudah jelas memberikan limit-limit yang membentuk seperti bingkai yang di dalamnya kita bisa « bermain ». Jika sumbu X pada bingkai ini menggambarkan hubungan antar sesama manusia/kebendaan (hablun minannaas) sedang sumbu Y hádala hubungan kita dengan Allah (hablun minallah) maka agama islam “menggiring” kita untuk berusaha bergerak ke ara ke arah kanan atas, mengejar dunia sebanyak-banyaknya, sebanyak usaha kita mendekatkan diri pada Allah.
Dalam kegiatan keagamaan, cara yang effektif untuk diambil, agar kita selalu terpelihara dalam kebaikan serta memotivasi diri untuk berusaha lebih maju adalah berdakwah.
Dakwah adalah mengkomunikasikan kebenaran (amar makruf nahyi mungkar) yang hukumnya wajib bagi setiap muslim, pada tingkat apapun keadaan amal dia sebagaimana beramal sholeh adalah wajib, tak peduli serendah apapun kemampuan dia berkomunikasi.
Dakwah bukan hanya ceramah. kita mengobrol, kita meminjamkan buku, kita bertanya di tengah majlis ta’lim tentang satu masalah, hingga jawabannya didengar orang banyak, kita ajak orang mengaji, ikut menghadiri ta’lim dsb dsb kesemuanya itu merupakan kontribusi kita dalam dakwah.
Kecuali berceramah (memberikan tausiah) kita sering kali merasa lebih mudah melaksanakannya. Lain halnya ketika sudah disuruh memberikan tausiah/, seribu satu alasan akan kita ajukan agar kita terhindar dari bentuk kewajiban ini.
Alasan ”sakti” yang biasanya kita pakai untuk menghindar dari kewajiban ini adalah firman Allah:
“Yaa ayyuhaladzina amanuu lima taquluuna ma laa taf’aluuna. Kaburo maktan indallahi antaquluu maalaa taf ‘aluun”
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
(Alquran Surat As-Shaf:2-3).
Padahal ayat ayat di atas bukan bermakna larangan bagi dakwah, tapi larangan jangan sampai orang berilmu memanipulasi ummat dengan kepintaran kata katanya, orang lain disuruh suruh, sedang dianya sendiri tidak mengerjakan, ia memperalat orang lain dengan ilmu [kita bisa menangkap adanya i’tikad tidak baik dalam kasus ini]. Artinya kalau sudah menyuruh orang, harusnya kita pun melaksanakan. Hal ini mau tidak mau akan menjadi pendorong bagi kita, agar menjadi lebih baik lagi, lagi dan lagi!
Tetapi logika tadi jangan dibalik : “Karena tidak bisa melaksanakan, maka kita jangan menyuruh orang”. Tetapi logika ini yang sering terpateri secara otomatis di dalam hati kita (setidaknya ini berlaku pada saya pribadi)
Sesungguhnya menganjurkan kebaikan tetap mendapat nilai, sepanjang tidak didorong dengan niat memanipulasi, menipu, menciptakan kesan palsu seperti yang telah dijelaskan di atas.
Beberapa hadits mendukung pernyataan ini antara lain
“Barangsiapa yang menganjurkan pada satu kebaikan, maka ia mendapat pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya. Tanpa mengurangi pahala sipelaku tersebut.”
Artinya kalau kita belum bisa mendapat pahala dengan mengerjakannya sendiri, jangan sampai kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya lewat cara menganjurkan orang lain untuk lebih dahulu memperbuatnya. Bagi kita yang telah bisa mengerjakannya, mengapa merasa cukup dengan satu pahala saja, tidakkah ingin berlipat ganda dengan cara menganjurkan orang lain melakukan apa yang telah kita kerjakan ??
Di dalam Al Quran, contoh ”kecil” untuk melaksanakan dakwah adalah menganjurkan orang lain untuk memberi makan orang miskin. Dan ini sudah merupakan modal awal untuk tidak dikatakan sebagai pendusta agama
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama (QS. 107:1)
Itulah orang yang menghardik anak yatim, (QS. 107:2)
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (QS. 107:3)
Ancamannya (! Lagi nih cerita siksa neraka deh) diakhirat nanti akan ada orang yang dirantai dengan rantai neraka sepanjang 70 hasta, diberi minum darah bercampur nanah, juga karena tidak mau menganjurkan orang lain memberi makan orang miskin (QS. 69:31-37)
Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.
Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.
Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar.
Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.
Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini.
Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.
Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.
Dengan mudah kita bisa melihat bahwa menganjurkan orang lain memberi makanan jasmani kepada orang miskin saja sudah demikian besar nilainya, walaupun dianya sendiri tidak mampu memberikan makanan tadi. Sedang jika menganjurkan saja sudah tidak mau, kita lihat betapa mengerikan akibatnya.
Apakah sesudah mendapat penjelasan di atas, hati kita menjadi luluh dan berani bersegera untuk menyampaikan kebaikan? Tentu tidak!
Kita (setidaknya saya pribadi) punya alasan
”Saya malu berdakwah, kelakuan saya sendiri masih amburadul. Saya takut terkena murka, Apa artinya bicara baik bila diri sendiri masih berantakan.”
Heheh, kata siapa bahwa bicara baik itu tidak ada artinya ?
Bicara baik itu sudah bagian dari tanda iman
”man kaana yukminu billahi wal yaumil akhir fal yaqul khoiron au liyasmut” HR. Bukhori
Bila sudah begitu menurut nabi, terus siapa yang berani mengatakan bicara baik tak berarti ?
Hal ini perlu kita camkan agar sikap perfeksionis (prinsip jika tidak sempurna lebih baik tidak) yang menghambat potensi dakwah ummah tidak merebak luas.
Bila diukur / dibandingkan antara tingkat bahayanya orang yang kelakuannya baik tapi bicaranya salah dengan orang yang kelakuannya buruk tapi pembicaraannya baik, maka daya rusaknya terhadap ummat, yang lebih berbahaya adalah mereka yang manis tingkah lakunya, mempesona akhlaqnya, tapi dari mulutnya keluar fatwa yang salah. Orang percaya dan mengikuti sebab tertarik dengan pribadinya, namun hasilnya Islam dirugikan
Adapun orang yang kelakuannya buruk, sedang perkataannya baik, resiko bagi masyarakat paling paling cuma sekedar “tidak ada yang mau percaya”.
Jadi, apa kita sudah ”menyerah” dan siap bersegera berdakwah.
Belummmmmmm.....
Masih ada jurus berkelit nya
”Mengapa saya harus berdakwah, tidakkah cukup dengan tanggung jawab saya atas diri saya sendiri? Sekarang saya sudah berubah, tidak lagi seperti dulu. Ini saja memerlukan disiplin diri yang kuat, penjagaan yang ketat, kalau saya berdakwah apa malah tidak jadi terpecah konsentrasi ? Saya harus jaga diri, ditambah lagi dengan menjagai prilaku orang lain .....”
Mungkin sebelum ini, kita sempat berkecimpung dalam kelalaian dan kekeliruan, tidakkah kita khawatir kalau kalau ada diantara manusia yang sekarang berbuat ma’shiyyat justru karena terilhami oleh prilaku kita yang dulu dulu ketika masih bersama mereka ?
Tidak mustahil ada yang berani berbuat dosa justru karena kita pernah memperbuatnya. Bila ini terjadi, berarti ada atsar buruk -bekas langkah kita- yang masih tercecer dan terus mengalir.
Ada amal jariyah [amal yang mengalir] yang bila tidak segera dihentikan akan terus menerus menambah berat timbangan keburukan kita, sebab walaupun kita telah berhenti berbuat, tetapi atsar ini tetap ditulis juga sebagai bagian dari yang harus kita pertanggung jawabkan.
Perhatikan Surah Yaasiin [36] : 12 “...dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas bekas yang mereka tinggalkan ...”
Khalifah ‘Umar ra nampaknya menyadari penuh akan bahayanya atsar (bekas) buruk ini, dari itu tercatat dalam sejarah, setelah beliau masuk Islam, maka di tempat tempat mana dulu ia pernah berbuat dosa, beliau kunjungi kembali seraya mengumumkan keislamannya dan mengajak orang kepada Islam.
Ini merupakan salah satu contoh kegigihan menghapus bekas tadi.
Dengan demikian, berdakwah sebenarnya bukan “mengurusi orang lain”, tapi membenahi diri sendiri, jangan sampai ada bekas kejelekan diri yang belum disumbat hingga jadi amal jariyah negatif seperti diulas di atas.
Dakwah pun merupakan usaha kita membebaskan diri dari terlibat dalam ma’shiyyat yang terjadi di depan mata kita. Dinyatakan dalam sebuah hadits shohih bahwa di akhirat nanti akan ada orang yang menarik tangan kita dan berkata : “Ya Allah inilah yang telah mencelakakan saya” Kita mengelak dan berkata : “Bagaimana mungkin saya mencelakakannya padahal saya tidak mengenal dia” Ia akan bilang “Benar Ya Allah, dia tidak kenal akrab dengan saya, tapi dia pernah melihat saya berbuat dosa, dan tidak menegur kesalahan saya itu, andai ia mengingatkan tentu saya tidak akan berketerusan dalam ma’shiyyat”.
Kita tidak akan bisa mungkir lagi sebab filem ketika peristiwa itu terjadi bisa ditayang ulang, sehingga akhirnya kita akan terpojok ketika ditanya : “Mengapa kamu melihat dia berdosa engkau biarkan ...?”
Menghayati surat Al A’raf 164 - 165
Dan (ingatlah) ketika suatu umat diantara mereka berkata:"Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab dengan azab yang amat keras". Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa". (QS. 7:164)
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS. 7:165)
Kita dapat menarik kesimpulan, bahwa nasib diri kita begitu terancam di akhirat, sudah harus mempertanggung jawabkan kekeliruan sendiri [sebagai manusia, kecil atau besar kita tak pernah luput dari kesalahan] ditambah lagi dengan “ditarik tarik tangan orang” , yang kebetulan di dunia pernah berbuat salah di depan kita dan kita tak berani mendakwahinya ......
Kita punya hutang dakwah kepada semua wajah yang pernah kita lihat, yang ketika dirinya tampak di depan kita, kita tahu ia tengah melakukan kekeliruan. Kita tidak bisa menutup mata yang sebelah lagi untuk urusan ini. Sebab bila selama ini kita ‘menutup sebelah mata’ dengan kema’shiyyatan yang melanda, maka bila kita tutup sebelah lagi (dengan tidak mau belajar dakwah, walaupun hanya lewat obrolan) maka kita sendiri akan menjadi buta !
Dakwah bukanlah menjagai orang lain, tapi memelihara diri sendiri. Ini perlu dicamkan, sebab selama ini banyak orang yang menyamakan arti dakwah dengan “usilan atau memaksa orang seperti maunya kita”.
Ada beberapa keuntungan yang bisa didapat dengan melakukan amal dakwah yaitu
Kita terlepas dari tuntutan karena tidak mengingatkan orang [S.7:164 - 165] addapun soal takwa dan tidaknya yang didakwahi itu urusan kedua (ma’dzirotan ilaa robbikum, itu yang pertama, baru wa la’allahum yattaquun).
Dimasukkan dalam golongan Ulul Baqiyyah yang dijanjikan beroleh keselamatan, sedang acuh tak acuh dengan dakwah, mementingkan diri sendiri, terancam dapat gelaran dzalim, yaitu mereka yang hidup hanya mementingkan kemewahan dan kesenangan hidup duniawi [lihat S.11:116]
Ikut serta mencegah terjadinya fitnah (kemelut, rusaknya agama, tersebarnya bencana) yang bila itu terjadi, tidak hanya orang dzalim saja yang terkena, termasuk pula orang yang baik baik yang tadinya acuh tak acuh dengan dakwah ! Lihat S.8:25
Dakwah tidak memecahkan konsentrasi kita dalam berdisiplin melaksanakan tha’at justru menambah maraknya suasana jiwa kita dalam berislam. Mengapa ? sebab bukan hanya dilaksanakan tapi kita pun terus menerus membicarakannya. Minimal bila suatu sa’at datang malasnya, kita pun akan tertagih dengan kata kata sendiri. Bukankah ini menguntungkan ?
Daripada sudah diri tidak mengerjakan, kita pun tak pernah pula membicarakan. Apa tidak malah keterusan lupanya ? Bukankah malu dan iman itu dua bagian yang tak terpisahkan [ Al Hadits], bila satu hilang yang satunya pun terancam segera sirna.
Banyak membicarakan kebaikan, membuat kita semakin terikat dengan tuntutan untuk konsekwen, ada rasa malu bila diri sendiri tidak melaksanakan. Dari sudut ini, malu oleh kata kata sendiri adalah pelindung iman terakhir agar tidak cepat menguap.
Antara dakwah dan amal sholeh adalah dua kewajiban yang menjadi hutang kita.. Bagi yang sudah baik amalnya malah tidak ada alasan lagi untuk tidak berdakwah. Sedang bagi yang amalnya masih tercampur [antara baik dan buruk] semoga dengan diawali oleh baiknya perkataan, kelakuannya pun menjadi baik pula bersama sama dengan orang yang diajaknya, Aamiin.
Jadi?
Mesti mengumpulkan keberanian untuk segera berdakwah nih!
Untuk apa? Untuk mengisi kekosongan iman selama ini sehingga jiwa kita yang dahaga membutuhkan siraman iman. Bagi yang sudah berkeluarga biasanya ghirah ini menular ke seisi rumah. Artinya jika level ini tetap dipelihara seperti membaca al-qur’an, sholat berjemaah, konsisten hadir pada majelis-mjelis ta’lim serta tetap memelihara diri dari lingkungan dan perbuatan yang tidak baik, insya Allah, paling kurang, iman kita serta keluarga kita (komunitas terkecil dalam masyarakat) dapat terjaga.
Cukup kah sampai di sini saja ? Keliatannya banyak yang sudah puas hanya sampai pada tahapan ini saja, padahal jika kita mengkaji lebih dalam ajaran agama kita, ternyata hal ini tidak cukup sampai di sini saja, karena :
Agama ini adalah nasihat, nasihat pada manusia agar selalu berusaha menjadi lebih baik (sekarang di aplikasikan dalam ISO 14001 dengan spirit of continous improvementnya). Saking pentingnya hal ini, bahkan meskipun usaha itu gagal, Allah tetap mengganjarnya dengan pahala
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (QS. 17:19)
Agama kita sudah jelas memberikan limit-limit yang membentuk seperti bingkai yang di dalamnya kita bisa « bermain ». Jika sumbu X pada bingkai ini menggambarkan hubungan antar sesama manusia/kebendaan (hablun minannaas) sedang sumbu Y hádala hubungan kita dengan Allah (hablun minallah) maka agama islam “menggiring” kita untuk berusaha bergerak ke ara ke arah kanan atas, mengejar dunia sebanyak-banyaknya, sebanyak usaha kita mendekatkan diri pada Allah.
Dalam kegiatan keagamaan, cara yang effektif untuk diambil, agar kita selalu terpelihara dalam kebaikan serta memotivasi diri untuk berusaha lebih maju adalah berdakwah.
Dakwah adalah mengkomunikasikan kebenaran (amar makruf nahyi mungkar) yang hukumnya wajib bagi setiap muslim, pada tingkat apapun keadaan amal dia sebagaimana beramal sholeh adalah wajib, tak peduli serendah apapun kemampuan dia berkomunikasi.
Dakwah bukan hanya ceramah. kita mengobrol, kita meminjamkan buku, kita bertanya di tengah majlis ta’lim tentang satu masalah, hingga jawabannya didengar orang banyak, kita ajak orang mengaji, ikut menghadiri ta’lim dsb dsb kesemuanya itu merupakan kontribusi kita dalam dakwah.
Kecuali berceramah (memberikan tausiah) kita sering kali merasa lebih mudah melaksanakannya. Lain halnya ketika sudah disuruh memberikan tausiah/, seribu satu alasan akan kita ajukan agar kita terhindar dari bentuk kewajiban ini.
Alasan ”sakti” yang biasanya kita pakai untuk menghindar dari kewajiban ini adalah firman Allah:
“Yaa ayyuhaladzina amanuu lima taquluuna ma laa taf’aluuna. Kaburo maktan indallahi antaquluu maalaa taf ‘aluun”
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
(Alquran Surat As-Shaf:2-3).
Padahal ayat ayat di atas bukan bermakna larangan bagi dakwah, tapi larangan jangan sampai orang berilmu memanipulasi ummat dengan kepintaran kata katanya, orang lain disuruh suruh, sedang dianya sendiri tidak mengerjakan, ia memperalat orang lain dengan ilmu [kita bisa menangkap adanya i’tikad tidak baik dalam kasus ini]. Artinya kalau sudah menyuruh orang, harusnya kita pun melaksanakan. Hal ini mau tidak mau akan menjadi pendorong bagi kita, agar menjadi lebih baik lagi, lagi dan lagi!
Tetapi logika tadi jangan dibalik : “Karena tidak bisa melaksanakan, maka kita jangan menyuruh orang”. Tetapi logika ini yang sering terpateri secara otomatis di dalam hati kita (setidaknya ini berlaku pada saya pribadi)
Sesungguhnya menganjurkan kebaikan tetap mendapat nilai, sepanjang tidak didorong dengan niat memanipulasi, menipu, menciptakan kesan palsu seperti yang telah dijelaskan di atas.
Beberapa hadits mendukung pernyataan ini antara lain
“Barangsiapa yang menganjurkan pada satu kebaikan, maka ia mendapat pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya. Tanpa mengurangi pahala sipelaku tersebut.”
Artinya kalau kita belum bisa mendapat pahala dengan mengerjakannya sendiri, jangan sampai kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya lewat cara menganjurkan orang lain untuk lebih dahulu memperbuatnya. Bagi kita yang telah bisa mengerjakannya, mengapa merasa cukup dengan satu pahala saja, tidakkah ingin berlipat ganda dengan cara menganjurkan orang lain melakukan apa yang telah kita kerjakan ??
Di dalam Al Quran, contoh ”kecil” untuk melaksanakan dakwah adalah menganjurkan orang lain untuk memberi makan orang miskin. Dan ini sudah merupakan modal awal untuk tidak dikatakan sebagai pendusta agama
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama (QS. 107:1)
Itulah orang yang menghardik anak yatim, (QS. 107:2)
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (QS. 107:3)
Ancamannya (! Lagi nih cerita siksa neraka deh) diakhirat nanti akan ada orang yang dirantai dengan rantai neraka sepanjang 70 hasta, diberi minum darah bercampur nanah, juga karena tidak mau menganjurkan orang lain memberi makan orang miskin (QS. 69:31-37)
Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.
Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.
Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar.
Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.
Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini.
Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.
Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.
Dengan mudah kita bisa melihat bahwa menganjurkan orang lain memberi makanan jasmani kepada orang miskin saja sudah demikian besar nilainya, walaupun dianya sendiri tidak mampu memberikan makanan tadi. Sedang jika menganjurkan saja sudah tidak mau, kita lihat betapa mengerikan akibatnya.
Apakah sesudah mendapat penjelasan di atas, hati kita menjadi luluh dan berani bersegera untuk menyampaikan kebaikan? Tentu tidak!
Kita (setidaknya saya pribadi) punya alasan
”Saya malu berdakwah, kelakuan saya sendiri masih amburadul. Saya takut terkena murka, Apa artinya bicara baik bila diri sendiri masih berantakan.”
Heheh, kata siapa bahwa bicara baik itu tidak ada artinya ?
Bicara baik itu sudah bagian dari tanda iman
”man kaana yukminu billahi wal yaumil akhir fal yaqul khoiron au liyasmut” HR. Bukhori
Bila sudah begitu menurut nabi, terus siapa yang berani mengatakan bicara baik tak berarti ?
Hal ini perlu kita camkan agar sikap perfeksionis (prinsip jika tidak sempurna lebih baik tidak) yang menghambat potensi dakwah ummah tidak merebak luas.
Bila diukur / dibandingkan antara tingkat bahayanya orang yang kelakuannya baik tapi bicaranya salah dengan orang yang kelakuannya buruk tapi pembicaraannya baik, maka daya rusaknya terhadap ummat, yang lebih berbahaya adalah mereka yang manis tingkah lakunya, mempesona akhlaqnya, tapi dari mulutnya keluar fatwa yang salah. Orang percaya dan mengikuti sebab tertarik dengan pribadinya, namun hasilnya Islam dirugikan
Adapun orang yang kelakuannya buruk, sedang perkataannya baik, resiko bagi masyarakat paling paling cuma sekedar “tidak ada yang mau percaya”.
Jadi, apa kita sudah ”menyerah” dan siap bersegera berdakwah.
Belummmmmmm.....
Masih ada jurus berkelit nya
”Mengapa saya harus berdakwah, tidakkah cukup dengan tanggung jawab saya atas diri saya sendiri? Sekarang saya sudah berubah, tidak lagi seperti dulu. Ini saja memerlukan disiplin diri yang kuat, penjagaan yang ketat, kalau saya berdakwah apa malah tidak jadi terpecah konsentrasi ? Saya harus jaga diri, ditambah lagi dengan menjagai prilaku orang lain .....”
Mungkin sebelum ini, kita sempat berkecimpung dalam kelalaian dan kekeliruan, tidakkah kita khawatir kalau kalau ada diantara manusia yang sekarang berbuat ma’shiyyat justru karena terilhami oleh prilaku kita yang dulu dulu ketika masih bersama mereka ?
Tidak mustahil ada yang berani berbuat dosa justru karena kita pernah memperbuatnya. Bila ini terjadi, berarti ada atsar buruk -bekas langkah kita- yang masih tercecer dan terus mengalir.
Ada amal jariyah [amal yang mengalir] yang bila tidak segera dihentikan akan terus menerus menambah berat timbangan keburukan kita, sebab walaupun kita telah berhenti berbuat, tetapi atsar ini tetap ditulis juga sebagai bagian dari yang harus kita pertanggung jawabkan.
Perhatikan Surah Yaasiin [36] : 12 “...dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas bekas yang mereka tinggalkan ...”
Khalifah ‘Umar ra nampaknya menyadari penuh akan bahayanya atsar (bekas) buruk ini, dari itu tercatat dalam sejarah, setelah beliau masuk Islam, maka di tempat tempat mana dulu ia pernah berbuat dosa, beliau kunjungi kembali seraya mengumumkan keislamannya dan mengajak orang kepada Islam.
Ini merupakan salah satu contoh kegigihan menghapus bekas tadi.
Dengan demikian, berdakwah sebenarnya bukan “mengurusi orang lain”, tapi membenahi diri sendiri, jangan sampai ada bekas kejelekan diri yang belum disumbat hingga jadi amal jariyah negatif seperti diulas di atas.
Dakwah pun merupakan usaha kita membebaskan diri dari terlibat dalam ma’shiyyat yang terjadi di depan mata kita. Dinyatakan dalam sebuah hadits shohih bahwa di akhirat nanti akan ada orang yang menarik tangan kita dan berkata : “Ya Allah inilah yang telah mencelakakan saya” Kita mengelak dan berkata : “Bagaimana mungkin saya mencelakakannya padahal saya tidak mengenal dia” Ia akan bilang “Benar Ya Allah, dia tidak kenal akrab dengan saya, tapi dia pernah melihat saya berbuat dosa, dan tidak menegur kesalahan saya itu, andai ia mengingatkan tentu saya tidak akan berketerusan dalam ma’shiyyat”.
Kita tidak akan bisa mungkir lagi sebab filem ketika peristiwa itu terjadi bisa ditayang ulang, sehingga akhirnya kita akan terpojok ketika ditanya : “Mengapa kamu melihat dia berdosa engkau biarkan ...?”
Menghayati surat Al A’raf 164 - 165
Dan (ingatlah) ketika suatu umat diantara mereka berkata:"Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab dengan azab yang amat keras". Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa". (QS. 7:164)
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS. 7:165)
Kita dapat menarik kesimpulan, bahwa nasib diri kita begitu terancam di akhirat, sudah harus mempertanggung jawabkan kekeliruan sendiri [sebagai manusia, kecil atau besar kita tak pernah luput dari kesalahan] ditambah lagi dengan “ditarik tarik tangan orang” , yang kebetulan di dunia pernah berbuat salah di depan kita dan kita tak berani mendakwahinya ......
Kita punya hutang dakwah kepada semua wajah yang pernah kita lihat, yang ketika dirinya tampak di depan kita, kita tahu ia tengah melakukan kekeliruan. Kita tidak bisa menutup mata yang sebelah lagi untuk urusan ini. Sebab bila selama ini kita ‘menutup sebelah mata’ dengan kema’shiyyatan yang melanda, maka bila kita tutup sebelah lagi (dengan tidak mau belajar dakwah, walaupun hanya lewat obrolan) maka kita sendiri akan menjadi buta !
Dakwah bukanlah menjagai orang lain, tapi memelihara diri sendiri. Ini perlu dicamkan, sebab selama ini banyak orang yang menyamakan arti dakwah dengan “usilan atau memaksa orang seperti maunya kita”.
Ada beberapa keuntungan yang bisa didapat dengan melakukan amal dakwah yaitu
Kita terlepas dari tuntutan karena tidak mengingatkan orang [S.7:164 - 165] addapun soal takwa dan tidaknya yang didakwahi itu urusan kedua (ma’dzirotan ilaa robbikum, itu yang pertama, baru wa la’allahum yattaquun).
Dimasukkan dalam golongan Ulul Baqiyyah yang dijanjikan beroleh keselamatan, sedang acuh tak acuh dengan dakwah, mementingkan diri sendiri, terancam dapat gelaran dzalim, yaitu mereka yang hidup hanya mementingkan kemewahan dan kesenangan hidup duniawi [lihat S.11:116]
Ikut serta mencegah terjadinya fitnah (kemelut, rusaknya agama, tersebarnya bencana) yang bila itu terjadi, tidak hanya orang dzalim saja yang terkena, termasuk pula orang yang baik baik yang tadinya acuh tak acuh dengan dakwah ! Lihat S.8:25
Dakwah tidak memecahkan konsentrasi kita dalam berdisiplin melaksanakan tha’at justru menambah maraknya suasana jiwa kita dalam berislam. Mengapa ? sebab bukan hanya dilaksanakan tapi kita pun terus menerus membicarakannya. Minimal bila suatu sa’at datang malasnya, kita pun akan tertagih dengan kata kata sendiri. Bukankah ini menguntungkan ?
Daripada sudah diri tidak mengerjakan, kita pun tak pernah pula membicarakan. Apa tidak malah keterusan lupanya ? Bukankah malu dan iman itu dua bagian yang tak terpisahkan [ Al Hadits], bila satu hilang yang satunya pun terancam segera sirna.
Banyak membicarakan kebaikan, membuat kita semakin terikat dengan tuntutan untuk konsekwen, ada rasa malu bila diri sendiri tidak melaksanakan. Dari sudut ini, malu oleh kata kata sendiri adalah pelindung iman terakhir agar tidak cepat menguap.
Antara dakwah dan amal sholeh adalah dua kewajiban yang menjadi hutang kita.. Bagi yang sudah baik amalnya malah tidak ada alasan lagi untuk tidak berdakwah. Sedang bagi yang amalnya masih tercampur [antara baik dan buruk] semoga dengan diawali oleh baiknya perkataan, kelakuannya pun menjadi baik pula bersama sama dengan orang yang diajaknya, Aamiin.
Jadi?
Mesti mengumpulkan keberanian untuk segera berdakwah nih!
0 comments:
Posting Komentar
Syukran sudah komentar